Strategi Pembangunan Nasional

Senin, 30 Mei 2011


Strategi Umum Pembangunan Nasional Dalam Repelita VI
Sebagai pembaharuan dari Repelita VI, prioritas diberikan pada pembangunan sektor-sektor di bidang ekonomi dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Pembangunan semakin difokuskan kepada unsure manusianya.
Prioritas yang semakin tinggi diberikan kepada peningkatan kualitas SDM. Di dalam sector pendidikan, pembangunan diarahkan pada peningkatan kualitas serta pemerataan pendidikan, terutama pendidikan dasar serta pendidikan kejuruan, untuk menghasilkan tenaga-tenaga terampil dan profesional yang memenuhi kebutuhan pembangunan. Selain itu, kita akan menuntaskan program Wajib Belajar (WAJAR) 9 tahun selambat-lambatnya pada akhir Repelita VIII. Derajat kesehatan juga akan ditingkatkan terus, karena selain memiliki tingkat pendidikan yang memadai, manusia Indonesia juga harus memiliki derajat kesehatan yang menunjang. Kualitas SDM yang meningkat tersebut akan berpengaruh, tidak saja pada pemecahan masalah produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, namun juga akan berpengaruh pada pemecahan masalah-masalah kesenjangan, kemiskinan, lapangan kerja, dan stabilitas.
Pertumbuhan ekonomi yang memadai tetap diperlukan untuk mencapai sasaran umum Repelita
VI. Pertumbuhan ini, yang juga didorong oleh peningkatan kualitas SDM, antara lain diperlukan untuk menciptakan kesempatan kerja guna dapat menampung pertambahan angkatan kerja sekitar 12,6 juta selama 5 tahun tersebut. Dalam kurun waktu Repelita VI, pertumbuhan ekonomi diupayakan untuk mencapai rata-rata 7,1 persen setahun. Sementara itu, pertumbuhan penduduk diharapkan menurun menjadi sekitar 1,5 persen pada akhir Repelita VI. Dengan demikian, pada akhir Repelita VI pendapatan per kapita akan mencapai sekitar US$1.280.
Sesuai dengan GBHN 1993 yang menekankan pada pembangunan yang makin berkeadilan dan
merata dalam PJP II, maka upaya-upaya pemerataan pembangunan dan pengentasan kemiskinan terus akan ditingkatkan. Penciptaan kesempatan kerja produktif yang memadai, untuk memperkecil tingkat pengangguran terbuka maupun terselubung, merupakan salah satu upaya dalam rangka pemerataan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi diarahkan pada pola yang menunjang penciptaan kesempatan kerja yang produktif ini. Selain itu, sejak awal Repelita VI telah dilaksanakan program untuk menanggulangi secara khusus masalah kemiskinan, seperti misalnya Inpres Desa Tertinggal (IDT). Upaya ini telah dilengkapi dengan program Takesra/Kukesra yang dilaksanakan oleh Pemerintah bekerjasama dengan dunia usaha.
Untuk menunjang pertumbuhan dan pemerataan, stabilitas ekonomi akan terus dipertahankan agar senantiasa mantap. Dengan stabilitas ekonomi, dunia usaha akan lebih mempunyai kepastian dalam menjalankan maupun meningkatkan usahanya, yang pada gilirannya akan pula menciptakan kesempatan kerja. Selain itu, stabilitas ekonomi berarti daya beli masyarakat akan terlindungi, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah maupun masyarakat yang berpenghasilan tetap. Misalnya stabilitas harga kebutuhan pokok sangat mempengaruhi daya beli bagian terbesar masyarakat.
III. Pelaksanaan Repelita VI
Dalam melaksanakan pembangunan nasional kita berpedoman pada Trilogi Pembangunan. Kita
mengupayakan keserasian antara pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas nasional. Karena disadari bahwa pertumbuhan yang terlalu cepat dapat mengabaikan pemerataan dan membahayakan stabilitas nasional.
Jika pemerataan yang terlalu ditekankan dengan mengorbankan pertumbuhan, maka daya dorong
peningkatan kesejahteraan masyarakat akan menurun dan pada gilirannya justru akan merugikan upaya pemerataan itu sendiri. Demikian juga halnya dengan keinginan untuk mempertahankan stabilitas nasional secara berlebihan, dapat mengurangi kemampuan untuk memeratakan pembangunan dan mempertahankan pertumbuhan yang memadai.
Trilogi Pembangunan ini, karena seringnya dituliskan dan diucapkan, kadang dirasakan sebagai
sesuatu yang cliche. Tetapi sesungguhnya, ia mempunyai makna yang dalam dan nilai implementasi yang tinggi. Dalam merancang dan melaksanakan APBN dalam dua tahun terakhir ini, selalu diupayakan agar pada akhir tahun anggaran dapat dihasilkan surplus anggaran. Surplus tersebut, bersama dengan kebijaksanaan moneter, ditujukan untuk menurunkan suhu perekonomian yang dianggap cukup panas seperti tercermin dalam inflasi dan defisit transaksi berjalan yang cukup tinggi.
Dalam merencanakan anggaran pembangunan misalnya kita mengupayakan pemerataan.
Kontribusi masyarakat dalam menciptakan pertumbuhan sudah semakin tinggi. Oleh karena itu
pemerintah, melalui anggaran pembangunannya, semakin banyak mencurahkan perhatian pada
pemerataan. Misalnya, untuk membiayai pengembangan pendidikan dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat luas. Sejak awal Repelita VI kita juga memperkenalkan Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang kini memasuki tahun keempat. Upaya besar ini akan terus berlanjut karena pada dasarnya dana IDT terus bergulir.
Meskipun anggaran pembangunan semakin diarahkan untuk upaya-upaya pemerataan, tidak
berarti upaya mendukung pertumbuhan dibaikan. Memang, swasta sudah semakin kuat, tetapi tidak semua investasi diminati oleh swasta misalnya untuk infrastruktur seperti listrik pedesaan, jalan di wilayah yang masih belum berkembang, dan sebagainya. Investasi semacam itu diperlukan, tidak saja sebagai upaya pemerataan, tetapi juga untuk menjamin bahwa pertumbuhan yang cukup tinggi dapat dipertahankan.
Kemungkinan untuk mencapai pertumbuhan yang cukup tinggi itu akan semakin besar dengan semakin banyaknya potensi nasional yang dapat kita manfaatkan.
Selain itu pemerintah, melalui kekuatan regulasinya, mengupayakan agar stabilitas juga terjaga.
Termasuk di sini adalah peraturan, yang baru dikeluarkan pada bulan Juli lalu, yang tidak memperkenankan dunia perbankan untuk memberikan kredit baru bagi pengadaan dan pengolahan tanah untuk para pengembang, kecuali untuk tujuan pembangunan rumah sederhana. Meskipun kredit macet di sector properti dewasa ini belum mengkhawatirkan, langkah tersebut di ambil sebagai tindakan berjaga-jaga agar nantinya tidak membahayakan tatanan keuangan nasional.
Dengan berpedoman pada Trilogi Pembangunan itu, perkembangan perekonomian Indonesia
dewasa ini tetap pada jalur yang mantap. Pada tahun 1996, laju pertumbuhan ekonomi kita mencapai 7,98 persen. Dengan demikian selama tiga tahun Repelita VI, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai sekitar 7,9 persen, dan telah di atas sasaran pertumbuhan rata-rata Repelita VI, bahkan yang telah direvisi, yaitu sebesar 7,1 persen. Momentum pertumbuhan yang relatif tinggi ini merupakan prestasi seluruh pengelola yang perlu dijaga kesinambungannya.
Kegiatan ekonomi masyarakat terus berkembang pesat dan strukturnya mulai berubah dengan
semakin berperannya sektor industri. Pada tahun 1996, kontribusi sektor pertanian menurun menjadi 16,5 persen, sedangkan sektor industri meningkat menjadi 25,5 persen.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tersebut dan tingkat pertumbuhan penduduk
yang relatif rendah (sekitar 1,6 persen pada tahun 1996), maka pendapatan perkapita penduduk Indonesia di tahun 1996 telah mencapai sekitar Rp 2,7 juta atau setara dengan 1155 dolar Amerika Serikat, yang berarti meningkat sekitar 100 dolar terhadap tahun 1995.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi itu memungkinkan dilaksanakannya upaya-upaya
pemerataan. Hasilnya antara lain menurunnya jumlah penduduk miskin, baik secara absolut maupun secara relatif terhadap keseluruhan jumlah penduduk. Jumlah penduduk miskin diperkirakan sekitar 22,5 juta orang atau 11,3 persen penduduk Indonesia pada tahun 1996. Jika dibandingkan dengan kondisi pada tahun 1993, maka jumlah penduduk miskin telah turun sebesar 3,4 juta orang atau sekitar 2,3 persen.
Penurunan jumlah penduduk miskin dalam periode 1993-1996 tersebut tercatat lebih banyak dibandingkan periode 1990-1993. Adanya percepatan ini tidak terlepas dari berbagai program pemerataan yang dilaksanakan dalam Repelita VI.
Selain itu, upaya membangun lapisan usaha kecil dan menengah terus kita galakkan. Kegiatan
usaha kita memang masih di dominasi oleh sejumlah kecil pengusaha besar yang mempunyai aset besar. Sedangkan usaha kecil yang jumlahnya sangat besar hanya memiliki aset yang kecil. Sementara itu, lapisan pengusaha menengah belum berkembang secara sehat dan mantap. Dalam Repelita VI telah dikembangkan beberapa skim kredit dan pembiayaan serta pembinaan untuk usaha kecil dan menengah. Misalnya saja, melalui ketentuan bagi setiap bank untuk setidak-tidaknya menyalurkan kredit kepada usaha kecil sebesar 22,5% dari keseluruhan kredit yang disalurkannya. Contoh lain adalah digalakkannya modal ventura (venture capital), yang selain memperkuat modal usaha kecil juga sekaligus membina manajemen usahanya.
Prencapaian pertumbuhan yang disertai dengan pemeratan tersebut dapat berlangsung karena
stabilitas ekonomi yang semakin mantap. Hal ini tercermin dari laju inflasi yang semakin rendah, menuju sasaran yang kita canangkan dalam Repelita VI. Pada tahun 1996/97 laju inflasi telah turun menjadi 5,2 persen dibandingkan dengan tahun 1995/96 dan 1994/95 yang masing-masing sebesar 8,9 persen dan 8,6 persen. Kecenderungan menurunnya laju inflasi dalam periode yang cukup panjang dan secara tak terputus sangat penting artinya bagi masyarakat. Karena, pertama, kenaikan harga akan menjadi beban masyarakat, terutama masyarakat miskin yang pendapatannya sangat terbatas. Kedua, gejolak harga dapat ketidakpastian bagi dunia usaha sehingga mempersulit mereka dalam mempersiapkan dan melaksanakan rencana kegiatannya. Ketiga, dalam perekonomian yang semakin terbuka, laju inflasi di dalam negeri yang lebih tinggi dari laju inflasi mitra dagang kita dapat memperlemah daya saing produkproduk kita. Hal ini tidak saja untuk pasar ekspor kita, tetapi juga pasar domestik karena barang dan jasa semakin bebas bergerak dari satu negara ke negara lain. Kemantapan stabilitas ekonomi kita memang sedang mengalami ujian berat tahun 1997 ini.

Meskipun laju inflasi dapat kita kendalikan sebesar 3,2 persen selama periode Januari-Juli 1997,
kemungkinan inflasi meningkat cepat pada bulan-bulan selanjutnya dapat terjadi sebagai akibat musim kering yang panjang dalam tahun ini serta goncangan nilai tukar Rupiah yang baru saja mereda. Berbagai upaya saat ini sedang kita lakukan agar laju inflasi tetap terkendali antara lain dengan memantapkan distribusi bahan makanan pokok. Selain itu nilai tukar Rupiah diupayakan kembali mantap pada tingkat yang menunjang tercapainya sasaran pembangunan. Fenomena gejolak nilai tukar Rupiah, dan juga berbagai mata uang di kawasan ASEAN, merupakan fenomena baru bagi kita dan saat ini masih terus diwaspadai dan menjadi pusat perhatian utama di tanah air.



0 komentar:

Posting Komentar